Beranda | Artikel
Ruh Agama
Rabu, 14 Oktober 2020

Bismillah.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menurunkan malaikat dengan membawa ruh (wahyu) dari perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara para hamba-Nya, untuk menyampaikan; Berikanlah peringatan, bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka bertakwalah kepada-Ku.” (an-Nahl : 2)

Allah menyebut wahyu dengan ruh. Sebagaimana dalam ayat yang lain Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dari perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman. Akan tetapi Kami jadikan ia sebagai cahaya; yang dengan itu Kami berikan petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami.” (asy-Syura : 52)

Allah menyebut malaikat turun dengan membawa wahyu dan menyebut wahyu itu dengan ruh, karena sesungguhnya wahyu merupakan sebab hidupnya ruh manusia (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 435)

Allah menyebut al-Qur’an sebagai ruh karena ruh merupakan sebab hidupnya jasad sedangkan al-Qur’an merupakan sebab hidupnya hati dan ruh manusia, dan dengan sebab petunjuk al-Qur’an itulah akan hidup kemalsahatan dunia dan agama; karena di dalam al-Qur’an tersimpan kebaikan yang sangat banyak dan ilmu yang melimpah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 762)

Allah juga menyebut al-Qur’an sebagai kitab yang penuh dengan kebaikan/mubarok. Allah berfirman (yang artinya), “Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang ia penuh dengan kebaikan, agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan supaya orang-orang yang memiliki akal pikiran mau mengambil pelajaran.” (Shad : 29)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ini menunjukkan dorongan untuk tadabbur/merenungkan al-Qur’an. Dan bahwasanya hal itu merupakan salah satu amalan yang paling utama. Dan menunjukkan bahwa membaca al-Qur’an yang disertai dengan tadabbur itu lebih utama daripada membaca dengan cepat yang tidak bisa mewujudkan tujuan ini.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 712)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) agar kamu jelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka itu, dan mudah-mudahan mereka mau memikirkan.” (an-Nahl : 44)

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang telah mati lalu Kami hidupkan dia dan Kami jadikan baginya cahaya sehingga ia bisa berjalan di tengah manusia sama dengan keadaan orang seperti dirinya yang masih terjebak dalam kegelapan-kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.” (al-An’am : 122)

Allah berfirman (yang artinya), “Allah penolong bagi orang-orang yang beriman; Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, sedangkan orang-orang kafir penolong bagi mereka adalah thaghut; yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah : 257)

Ilmu merupakan kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan kematian dan kegelapan. Seluruh keburukan bersumber dari ketidakadaan kehidupan dan cahaya. Adapun kebaikan sebab utamanya adalah keberadaan cahaya dan kehidupan (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 34)  

Ilmu merupakan salah satu bentuk dzikir yang paling agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)

Dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan apa yang diucapkan dengan lisan. Dzikir semacam itulah yang membuahkan pengenalan kepada Allah dan kecintaan kepaa-Nya serta limpahan pahala. Dzikir itu sendiri merupakan pokok dari syukur kepada Allah (lihat It-haful Muslim bi Syarh Hishnil Muslim oleh Syaikh Sa’id al-Qahthani rahimahullah hal. 6)

Allah berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (ar-Ra’d : 28)

‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat Allah pada setiap keadaan (HR. Muslim)

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak.” (al-Ahzab : 41)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu. Sesungguhnya yang bisa mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang mau menggunakan akal pikiran.” (az-Zumar : 9)

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Seorang senantiasa berilmu selama dia mau belajar. Apabila dia meninggalkan belajar dan mengira bahwa dirinya telah cukup ilmunya sehingga dia menyangka apa yang dia miliki sudah cukup/tidak butuh tambahan ilmu maka dia adalah orang yang paling bodoh pada saat itu.” (lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal. 59)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan ini (al-Qur’an) adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan dan diberkahi, maka ikutilah ia dan bertakwalah kalian, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (al-An’am : 155)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan telah Kami turunkan kepadamu -Muhammad- al-Kitab (al-Qur’an) sebagai penjelas atas segala sesuatu, serta menjadi petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang pasrah/muslim.” (an-Nahl : 89)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan : Allah telah menjelaskan untuk kita di dalam al-Qur’an ini segala ilmu dan segala perkara (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/594)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah telah turunkan kepadamu -Muhammad- al-Kitab dan al-Hikmah.” (an-Nisaa’ : 113)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan : Yang dimaksud al-Kitab adalah al-Qur’an sedangkan al-Hikmah itu adalah as-Sunnah (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/410)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ‘hikmah’ bisa ditafsirkan dengan as-Sunnah seperti dikatakan oleh sebagian ulama salaf bahwa turun kepada Nabi -wahyu- hikmah/sunnah sebagaimana turun kepadanya wahyu al-Qur’an. Selain itu istilah hikmah ini bisa juga bermakna pengetahuan tentang rahasia-rahasia syari’at yang itu mencakup hal-hal tambahan di luar pemahaman tentang hukum-hukum syari’at itu sendiri. Termasuk di dalam makna hikmah itu adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan mengatur atau mengurutkan segala hal sesuai dengan urutan dan tingkatannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 201)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia (rasul) mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah.” (Ali ‘Imran : 164)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata : Yang dimaksud al-Kitab adalah al-Qur’an, sedangkan al-Hikmah yaitu as-Sunnah (lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hlm. 60)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/ruh-agama/